Sejarah Masuknya Orang Cina Ke Tanah Deli
Medan, tidak pernah habisnya jadi sumber cerita. Sejarah masa lalunya tidak akan pernah habis pula untuk dibahas. Adalah sebuah tempat di pinggiran kota Medan, di kenal sebagai Medan Labuhan. Letaknya tidak jauh dari pusat kota Medan. Sekitar setengah jam perjalanan.
Di tempat ini dahulu terdapat pelabuhan awal perdagangan kota Medan. Cerita tentang perdagangan kota Medan, tidak terlepas dari datangnya para penjelajah dari berbagai negeri. Mulai dari kedatangan kaum kuli, pedagang, hingga penyebar agama, dan kelompok penjajah. Salah satunya adalah kaum pendatang dari negeri Tiongkok.
Riwayat perjalanan mereka menyeberangi lautan diceritakan dalam berbagai literatur sejarah. Termasuk prasati dari kerajaan Sriwijaya. Jejak peradaban mereka terangkum dalam berbagai warisan kebudayaan. Seperti di daerah Medan Labuhan ini. Situs peninggalan kota Cina paling besar yang pernah ditemukan di Kota Medan adalah di daerah Lingkungan IX, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, sekitar 15 Kilometer dari pusat Kota Medan.
Situs kota Cina ini pernah dieskavasi (digali) oleh beberapa sejarawan seperti McKinon, arkeolog keramik asal Inggris dan sejarawan Medan, Tengku Luckman Sinar. Saat melakukan penggalian pada tahun 1973, ditemukan banyak pecahan beling (keramik), tambatan kapal, fondasi kuil, dan patung Budha.
“Diduga ini adalah sejarah peradaban masyarakat imigran Cina tertua di Medan,” kata Erond L Damanik, Peneliti padaPusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) lembaga penelitian di Universitas Negeri Medan (Unimed). Nah, penemuan-penemuan situs tersebut menjadi bukti kedatangan bangsa Cina ke kota Medan.
Banyaknya vihara-vihara tua yang tersebar di kawasan ini, semakin mengukuhkan sejarah kedatangan kaum petualang tersebut. Bagi generasi tua Cina yang bermigrasi dari Daratan Tiongkok ke Pulau Sumatera dan berdomisili di Medan ratusan tahun silam, kawasan perkampungan masyarakat Cina di Medan Labuhan yang menyimpan cerita sejarah tersebut, bukanlah hal yang baru. Namun, bagi generasi sesudahnya, terlebih-lebih mereka yang lahir dan besar di masa-masa kemudian, cerita tentang perkampungan itu semakin asing. Seperti saat saya berkeliling di perkampungan ini.
China Town di Medan Labuhan
Berada di jalan Bukit Barisan atau yang sekarang dikenal sebagai Jalan Syaifuddin Yatim, pemukiman ini hingga awal tahun 1960-an masih dipadati warga keturunan Tionghoa. Lain halnya dengan sekarang. Bila dulu sebagian besar penduduknya adalah masyarakat keturunan Tionghoa, saat ini keberadaan mereka hanya satu dua saja. Tersebar tak merata di antara masyarakat keturunan Melayu. Atmosfernya sedikit berbeda, di kiri kanan jalan beberapa bangunan masih bernuansa Tionghoa.
Ruko-ruko lama beberapa masih bertahan. Ujung vihara menjulang terlihat di beberapa tempat dari kejauhan. Selebihnya, ketidakteraturan bangunan menghiasi kawasan ini. Bangunan-banguan tua tidak terawat, tidak ada kesan menarik sama sekali. Kecuali sejarahnya. Mungkin saja. Siang itu, saat berjalan menyusuri jalanan semi aspal, mata sipit gadis kecil berkulit pualam mengintip kami dari balik pintu. Senyumnya ramah malu-malu. Beberapa jepretan kamera kami lemparkan mengabadikan mata sipitnya.
Sebelum momen seperti ini sama sekali hilang beberapa tahun mendatang. Sambutan hangat juga kami dapatkan dari A Hwa, bapak tua keturunan Tionghoa yang telah tinggal di tempat itu sejak masih balita. Sebuah tato naga berwarna merah hijau memenuhi otot bisepnya. Mempertegas kesan garang misai putihnya.Namun sapaan ramahnya membuat kami merasa nyaman. Darinya lah kami memperoleh banyak informasi.
“Dulu banyak orang keturunan Tionghoa tinggal di sini. Tapi sejak tahun 60-an banyak yang sudah pindah. Entah ke daerah lain atau ke Tiongkok. Tahun-tahun itu kan banyak permusuhan dibangun terhadap etnis kami,” cerita A Hwa sedih. Di daerah tersebut pada masa-masa lampau terdapat beberapa bangunan besar dan pusat perekonomian.
“Dulu ada hotel dekat SD Inpres di sana. Ada juga pelabuhan arak, gudang dan pabrik arak. Itu di sana,” katanya sembari menunjuk sebuah gang tak jauh di depan kami. Di tempat itu dulunya juga ada rumah candu, tempat candu beredar secara legal. A Hwa ingat benar. Tempatnya juga tidak jauh dari hotel itu.
“Saya juga ingat, waktu saya masih kecil, tetangga saya sebagian besar orang Tionghoa. Sekarang tinggal beberapa. Seperti kalian lihat, di sana Melayu. Tetangga depan ini juga Melayu, saya juga Melayu,” kata Melidiani, perempuan Melayu yang sejak kecil sudah bertetangga dengan A Hwa. Pembauran memang terlihat jelas. Rumah-rumah masyarakat keturunan berbaur dengan masyarakat pribumi. Walaupun pada pojok lain jalan ini, rumah-rumah terkonsentrasi menjadi dua kubu.
Di dekat pasar ikan misalnya. Di sepanjang jalan ini rumah penduduk dibagi menjadi dua bagian. Di sebelah kanan pasar, rumah-rumah keturunan Melayu dan di sebelah kiri, rumah-rumah penduduk keturunan Tiionghoa. Sederatan bekas ruko yang sudah tidak seragam lagi di sebelah selatan Gang Ujung Tanjung menunjukkan arsitektur bergaya Tionghoa. Banyak bentuk melengkung seperti yang biasa kita jumpai pada vihara. Bangunan-bangunan ini sebagian besar telah berubah fungsi menjadi rumah penduduk.
Bentuknya juga sudah banyak berubah. Seperti rumah bekas hunian Tjong A Fie, pengusaha legendaris Tionghoa di Medan, saat bermukim di Medan Labuhan, kini telah diganti dengan rumah beton. Rumah itu kini dihuni keluarga Melayu. “Masih banyak bukti peninggalannya kok. Seperti rumah yang kami huni,” kata Melidiani. “Waktu kami bangun rumah dan menggali sumur, pada kedalaman tertentu kami menemukan pecahan keramik, mata uang logam Cina, dan berbagai benda-benda aneh lainnya,”lanjut Melidiani.
Bukti kuat keberadaan saudara jauh dari Negeri Tiongkok ini. Kelenteng Siu Sian Kiong di Jalan Bukit Barisan dan Klenteng Liat Sun Kiong di Jalan Lorong II, Pekan Pelabuhan. Konon kabarnya kedua klenteng ini sudah ada sejak puluhan tahun silam. Klenteng Liat Sun Kiong dibagi menjadi dua bagian, di kanan lorong jalan dan di kiri. Klenteng ini dikhususkan untuk sembahyang. Lain halnya dengan Klenteng Sui Sian Kiong.
Klenteng ini tidak hanya untuk sembahyang tetapi juga untuk membuat permohonan, meramal nasib, danmemohon restu dari Yang Maha Kuasa. Sore itu, saat memasuki klenteng, dua orang perempuan Tionghoa sedang duduk bertelut, berdoa khusyuk. Mata mereka terpejam.
Rangkaian dupa yang telah dibakar dipegang erat di ujung jari yang terkatup. Aroma dupa memenuhi seluruh ruangan. Cahaya lilin memberi kesan temaram sore itu. Membuat langit-langit dan dinding yang kemerahan berkesan magis. Sebuah lonceng besar ada di depan klenteng. Ornamen berbentuk ikan berkepala naga mengapitsebuah pagoda di bagian atas gapura merah klenteng. Dua patung singa berwarna polos berjaga-jaga tepat di depan klenteng menemani dupa besar di depannya. Di dekat pintu masuk tertulis nama klenteng dalam huruf Mandarin.
Tak bisa saya baca. Di bagian kirinya, sejarah klenteng dan riwayat pembangunannya dituliskan. Tak lama kemudian, sebuah gerakan menyembah digantikan dengan gerakan menjatuhkan dua keping kayu pipih. Si perempuan sedang memohon izin Dewa untuk melanjutkan ke ritual selanjutnya. Bila kedua kayu pipih tersebut terbuka bersama-sama, dalam posisi yang sama, ritual boleh dilanjutkan. Bila tidak, jangan coba-coba melanjutkan. Hasilnya akan sia-sia. Anto, salah satu umat yang juga sedang beribadah memberi penjelasan kepada saya. Bila restu dari dewa telah diperoleh, ritual dilanjutkan dengan menguncang pelan puluhan batang bambu dalam satu wadah yang berisi angka-angka.
Batang bambu yang jatuh adalah peruntungan. Ritual terus dilanjutkan hingga diperoleh satu angka untuk dicari tahu maknanya kepada seorang ahlinya di bagian lain klenteng. Penasaran, kami pun ingin mencoba. Ragu-ragu saya memegang bambu peruntungan, hanya ingin mengetahui ritualnya. Memperhatikan benda-bendanya. Menghargai keyakinanan mereka tanpa mengabaikan kepercayaan saya. Saya tidak berdoa, sebab agama saya melarangnya. Bambu-bambu itu hanya saya pegang dan guncang. Anehnya, tak satupun bambu terjatuh. Tak satupun kertas peruntungan terguncang keluar.
“Anda memang harus yakin,” kata Anto. Saya hanya tersenyum masam. “Ah, biarlah itu menjadi keyakinan mereka,” pikir saya tanpa mengomentari Anto. Hem... jika Anda punya keyakinan yang sama, silahkan coba saja! Sambil berwisata kota lama, Anda bisa mencoba mengetahui peruntungan Anda. Asyik kan...
Mesjid Kuning
Satu lagi yang menarik bila kita berpelesir ke Medan pelabuhan. Mesjid Kuning. Bangunan ini sangat menarik perhatian. Arsitekturnya, warna kuningnya, dan tentu saja sejarahnya. Bangunan megah ini bernama Mesjid Raya Al-Osmani atau biasa disebut Mesjid Kuning, berada di Jalan Raya Yos Sudarso Kilometer 17,5. Mesjid ini adalah salah satu mesjid tertua di kota Medan. Mesjid ini dibangun pada tahun 1854 oleh Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam, seorang sultan yang sangat dihormati rakyatnya. Bangunan mesjid ini awalnya dibuat dari kayu pilihan yang terbaik. Di depan mesjid inilah dahulu kerajaan Deli pertama dibangun. Sekarang istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Di bagian belakang mesjid terdapat makam Sultan Osman perkasa alam yang wafat pada tahun 1858 beserta dengan kerabatnya. Bangunan ini dirancang dengan unik. Bergaya India dengan kubah tembaga bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton. Kaligrafi dan lukisan di bagian dalam kubah tak kalah indah dengan desain luar mesjid.
Sumber : Sejarah Masuknya Orang Cina Ke Tanah Deli